Rabu, 13 April 2016

IKAN TAGIH, BLASTERAN LELE-PATIN?

Ceritanya sih bukan blasteran.. cuma mirip-mirip aja antara lele dan patin haha.
Tau kah kamu ikan tagih?Mungkin pernah ada yang tau tentang ikan ini kalau aku kenalkan dia dalam beberapa bahasa ya.
Dalam bahasa betawi ikan ini dipanggil ikan Bawon; Senggal atau Singgah dalam bahasan Sunda; Tagih atau Tageh dalam bahasa Jawa; Niken, Siken, Tiken atau Tiken Bato oleh masyarakat Kalimantan Tengah; Baung dalam bahasa Indonesia dan lain-lain.
Ikan ini mungkin tidak endemik di Bandung, Jawa Barat, tempat besarku dan tapi tersebar banyak di daerah asia tenggara (tepatnya Paparan Sunda)
Ikan tagih memiliki nama latin Bagrus nemurus dan masih termasuk dalam marga Hemibagrus. Ada 2 sinonim dari spesies ini yaitu Hemibagrus nemurus dan Mystus nemurus tapi, ikannya sama kok. Kaya gimana sih bentukkannya? Saya sebut ini campuran Patin dan Lele . Hehe. Tapi memang ikan ini masih kerabat dengan ikan Lele.

Makanannya sama dengan ikan lainnya yaitu memiliki sifat omnivore (pemakan segala). Secara umum ikan tagih terdistribusi di beberapa daerah atau negara di Asia yaitu: Mekong, Chao Phraya, Xe Bangfai basins, Malay Peninsula, Sumatera, Jawa dan Borneo. Ikan ini merupakan ikan perairan umum yang mempunyai nilai ekonomis penting, yang banyak dijumpai di daerah perairan Sumatera, Jawa dan Kalimantan. (Sumber Jurnal)

Di Jawa barat, ikan ini dapat ditemukan di Sungai terpanjang di Jawa barat, Sungai Citarum. Tepatnya, ikan ini ditemukan di bagian tengah sungai (Perairan Waduk Jatiluhur dan Citara) dan hilir sungai (Bagian hilir di daerah Kerawang, Poncol-Rengeasdengklok).  Selain ikan tagih, masih terdapat banyak ikan yang ada di Sungai Citarum (tahun 2011), bisa dilihat di tabel berikut, ikan Tagih atau ikan baung terdapat di nomor 27.

Kandungan protein pada ikan ini cukup tinggi namun rendah lemak. Rasanya enak, gurih dan lezat melebihi rasa daging ikan patin, ikan lele atau ikan jambal air tawar. Sebenarnya ikan ini mampu bersaing dengan ikan-ikan ekonomis lainnya. Namun karena sulit didapat diluar daerah aslinya menjadikan tagih belum sepopuler ikan konsumsi jenis lainnya. 
Daging dari ikan tagih bisa diolah menjadi bakso, nugget ataupun abon karena teksturnya hamper sama seperti ikan Patin. Dijawa barat, ikan tagih banyak ditemukan di Rumah makan Rajamandalah, keramba jaring apung cirata cianjur dari hasil tangkap masyarakat sekitar, dll. (SUMBER)

Widiiihhh ueeenyakk…
Sebelumnya produksi ikan tagih mengandalkan hasil tangkapan di alam. Selain jumlah dan ukurannya tidak menentu, terjadi penurunan kemampuan alam untuk memenuhi kebutuhan konsumsi yang semakin meningkat. Beberapa lembaga penenlitian perikanan dan perguruan tinggi negri berusaha memijahkan ikan tagih ini, karena merupakan ikan yang memiliki nilai ekonomis tinggi di Indonesia. Pada tahun 1998, BBPBAT Sukabumi berhasil melakukan pemijahan buatan ikan tagih.
Sayangnya ikan ini sudah mulai langka ditemukan di Citarum. Banyak hal yang mempengaruhi kelangkaan ini termasuk karena kualiatas airnya yang mulai memburuk. Walaupun memang tidak semua bagian dari Citarum kualiatasnya memburuk. Perubahan keadaan lingkungan suatu daerah akan sangat berpengaruh terhadap organisme yang hidup di sana. Bila karena sesuatu dan lain hal, keadaan lingkungan suatu daerah berubah menjadi ekstrim bagi kehidupan suatu spesies yang hidup di sana, maka organisme tersebut terpaksa bermigrasi ke daerah lain atau mati.
Dalam data IUCN Red List, ikan ini termasuk tipe Least Concern atau tidak begitu diperhatikan. Ini tandanya belum banyak penelitian seputar ikan ini.  Maka dari itu, survey yang komprehensif pada ikan tawar di perairan Jawa masih harus terus diselidiki kebenaran status biodiversitasnya.
Sayang sekali ya jika ikan khas ini mati bukan karena alami faktor alam tapi juga disebabkan oleh aktifitas manusia sendiri. Jadi, kita memang butuh mereka, namun kita juga harus menghormati mereka untuk tetap ada di sini.


Baiklah, sekian blogku kali ini ya teman-teman.. semoga dapat menambah pengetahuanmu. Terimakasih :D

Selasa, 12 April 2016

Evolusi Paru-paru pada Vertebrata dilihat dari Hewan Lamprey

Pada tetrapoda, pernafasan tidak hanya tergantung pada paru-paru saja. Bernafas diudara pada tetrapoda muncul pada ikan. Vertebrata yang bernafas dengan paru-paru berasal dari struktur progenitor yang ada pada ikan bertulang primitif. Pernapasan memerlukan Sentral Generator Ritme. yang akan mengaktifkan otot respirator untuk memberi ventilasi pada paru-paru dan kumpulan batang otak kemoreseptor. Pernapasan dengan CRGAB (CO2/ph-modulated air-breathing CRG) berbeda secara anatomi dan fungsionalnya daripada CRG insang yang tidak termodulasi oleh CO2/ph. Awal dari kebutuhan pada CO2/memodulasi pH tidak diketahui, tetapi mungkin bisa sebagai awal mula evolusi dari paru-paru.
Batang otak pada lamprey memperlihatkan adanya ritme berhenti pada saraf kranial yang mengubungkan otot ventilasi. Ritme berhenti ini dihasilkan dari CRG untuk ventilasi faring. Pola ini dilakukan secara periodic yang disebut ritme lambat atau batuk. Ritme in hampir sama dengan ritme pada larva ampfibi yang memperlihatkan produk dari CRG ventilasi insang dan CRG bernafas (CRGAB).
Pada amphibi dan semua amniotes tingkat tinggi, CRGAB responsive terhadap pusat kemoreseptor sensitive CO2/Ph yang memodulasi ventilasi untuk memenuhi kebutuhan metabolis. Awal mula CRGAB pada vertebrata tidak jelas dan pusat kemoreseptor sensitive CO2/Ph pada amfibi sangat kontroversi. Maka dari itu, peneliti menganggap ritme lambat atau batuk CRG dari lamprey adalah awal mula dari CRGAB pada tetrapoda dan pengetesan hipetesis ini dimodulasi dari CO2/Ph.

Gambaran “ritme lambat’ atau ‘batuk’ yang telah ditemukan terjadi pada Lamprey secara in vivo dan in vitro, didasarkan oleh sensitifitas pusat terhadap CO2. Hal ini menunjukkan bahwa unsur-unsur penting bagi evolusi bernafas pada tetrapoda, hadir dalam nenek moyang vertebrata yang paling awal sebelum evolusi paru-paru. Sehingga peneliti tersebut mengusulkan bahwa evolusi bernapas pada semua vertebrata terjadi melalui pelencengan pada elemen basal yang penting.
Hasilnya, secara anatomi ditemukan bahwa CRG saat ritme lambat pada lamprey dimodulasi adanya CO2/ph. Walaupun ritme lambat itu distimulasi in vivo respon karena kadar CO2 tinggi di air dan hewan ini mulai gelisah dengan kondisi ini. Hal ini membuat penasaran mengapa CRG termodulasi CO2/PH dapat terjadi pada organisme yang membutuhkan pertukaran udara yang umumnya dipenuhi oleh perairan, pada lingkungan air normalnya tidak ada pembatasan pengeluaran CO2. Bagaimanapun lamprey yang hidup diliang melakukan sikap adaptif ini karena pertimbangan mencegah banyaknya kandungan CO2 di sarangnya yaitu di liang yang di gali lamprey itu sendiri. Substrat yang bisa saja runtuh  ke liangnya, mengganggu aliran air masuk dan akan terlalu banyak CO2. Dengan demikian CRG termodulasi CO2/PH bersifat adaptif.


Ventilasi Ammocoete dimodulasi oleh hipoksia atau kekurangan oksigen. Dari temuan ini, dapat memberikan wawasan ke dalam evolusi control ventilasi dan konservasi mekanisme control dasar di seluruh garis umur vertebrata. Awal mula CRG untuk “batuk” adalah usaha pertahanan untuk menghasilkan arus air yang kuat berfungsi untuk membersihkan struktur insang halus. Ventilasi model ini dengan evolusi dari paru-paru pada ikan primitive (yang diwakili oleh ikan berparu-paru dan amphibi) karena perekrutan insang CRG untuk ventilasi dan CRG batuk berfungsi sebagai CRGAB. Penelitian ini menemukan dan menjelaskan bahwa mekanisme batuk pada lamprey tidak ada hubungannya dengan mekanisme batuk untuk tetrapoda. Hal ini jelas karena reptile dan amphibi tidak batuk. Namun mekanisme sensitive kekurangan CO2 dan perubahan asam sejalan dengan kehadiran seperti di leluhur umum untuk semua vertebrata. Jadi  Lamprey yang memiliki sebuah CRG sensitive CO2/PH mungkin memberikan substrat penting untuk evolusi pernafasan vertebrata.